Juventus F.C. - klub sepak bola

Juventus Football Club S.p.A. (BIT: JUVE) (dari bahasa Latin:iuventus: masa muda [juˈvɛntus]), biasa disebut sebagai Juventus dan popular dengan nama Juve (pengucapan [ˈjuːve]), adalah klub sepak bola profesional Italia yang berbasis di Turin, Piedmont. Klub sepak bola ini adalah yang tertua ketiga di Italia dan telah menghabiskan sebagian besar sejarahnya, dengan pengecualian pada musim 2006-07, di atas klasemen Divisi Pertama (dikenal sebagai Serie A sejak 1929).

Didirikan pada tahun 1897 sebagai Sport Club Juventus oleh sekelompok siswa muda di kota Turin, yang dipimpin oleh Eugenio Canfari dan saudaranya Enrico, klub ini kemudian dikelola oleh industrialis keluarga Agnelli sejak tahun 1923, yang merupakan kemitraan olahraga tertua di Italia, sehingga membuat Juventus menjadi klub profesional pertama di negara itu. Seiring waktu, klub telah menjadi simbol dari budaya bangsa dan Italianità ("Italia"), karena tradisi mereka sukses, beberapa di antaranya memiliki dampak yang signifikan dalam masyarakat Italia, terutama pada tahun 1930-an dan dekade pertama pasca-perang yang sekaligus mempengaruhi politik ideologis dan asal sosial ekonomi simpatisan klub. Hal ini tercermin antara lain, dalam kontribusi klub untuk tim nasional sepak bola Italia sejak paruh kedua tahun 1920-an yang kemudian diakui sebagai salah satu yang paling berpengaruh dalam sepak bola internasional karena turut berperan penting dalam kemenangan Piala Dunia 1934, 1982 dan 2006. Basis penggemar klub ini lebih besar daripada klub sepak bola Italia lainnya dan merupakan salah satu yang terbesar di seluruh dunia. Dukungan untuk Juventus tersebar luas di seluruh negeri dan luar negeri, terutama di negara-negara dengan keberadaan yang signifikan dari imigran Italia.

Juventus secara historis adalah klub paling sukses di sepak bola Italia dan salah satu yang paling penting secara global. Secara keseluruhan, mereka telah memenangkan lima puluh lima gelar resmi di pentas nasional dan internasional, lebih dari klub Italia lainnya: rekor dua puluh sembilan gelar liga, rekor sembilan piala Italia, rekor enam piala super nasional, dan dengan sebelas gelar dalam konfederasi dan antar-konfederasi kompetisi (dua Piala Interkontinental, dua Liga Champions UEFA, satu Piala Winners UEFA, rekor tiga Piala UEFA, satu Piala Intertoto UEFA dan dua Piala Super UEFA) klub saat ini di peringkat keempat di Eropa dan kedelapan di dunia dengan paling banyak trofi yang dimenangkan.

Juventus juga menjadi salah satu klub sepak bola Italia dengan jumlah fans terbesar, dan diperkirakan ada 170 juta orang didunia yang juga menjadi fans Juve. Klub ini menjadi salah satu pencipta ide European Club Association, yang dulu dikenal dengan nama G-14, yang berisikan klub-klub kaya Eropa. Klub ini juga menjadi penyumbang terbanyak pemain untuk tim nasional Italia.

Pada dekade 1980-an di bawah manajemen Giovanni Trapattoni, klub imi berhasil meraih tiga belas piala resmi dalam sepuluh tahun sampai tahun 1986, termasuk enam gelar liga dan lima gelar internasional; Juventus menjadi klub pertama dalam sejarah sepak bola Eropa telah memenangkan tiga kompetisi utama yang diselenggarakan oleh UEFA: Piala Champions Eropa, (sekarang sudah tidak berfungsi) Piala Winners dan Piala UEFA (sisi Italia dan Eropa Selatan pertama yang memenangkan turnamen). Setelah kemenangan mereka di Piala Interkontinental pada tahun yang sama, klub juga menjadi yang pertama dalam sejarah sepak bola—dan tetap menjadi satu-satunya saat ini—telah memenangkan semua kemungkinan di kompetisi resmi UEFA dan gelar juara dunia. Menurut sepanjang masa ranking diterbitkan pada tahun 2009 oleh Federasi Internasional Sejarah Sepak bola dan Statistik, organisasi yang diakui oleh FIFA, berdasarkan kinerja klub dalam kompetisi internasional, Juventus adalah klub terbaik Italia dan kedua di Eropa abad ke-20.

Sejak 2006 klub ini bermarkas di Stadio Olimpico di Torino yang menggantikan markas sebelumnya yaitu Stadion Delle Alpi yang dirobohkan dan dibangun ulang sebagai stadion baru bernama Juventus Stadium. Juventus resmi memakai stadion baru mereka tesebut pada awal September 2011.

Sejarah

Awal mula

Juventus didirikan dengan nama Sport Club Juventus pada pertengahan tahun 1897 oleh siswa-siswa dari sekolah Massimo D'Azeglio Lyceum di daerah Liceo D’Azeglio, Turin. Awal mula dibentuknya klub ini adalah sebagai pelampiasan dari anak-anak yang saling berteman dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama dan bersenang-senang serta melakukan berbagai hal positif. Usia anak-anak tersebut rata-rata 15 tahunan, yang tertua berumur 17 dan lainnya di bawah 15 tahun. Setelah itu, hal yang mungkin tidak jadi masalah sekarang ini tetapi merupakan hal yang terberat bagi pemuda-pemuda tersebut saat itu adalah mencari markas baru. Salah satu pendiri Juventus, Enrico Canfari dan teman-temannya kemudian memutuskan untuk mencari sebuah lokasi dan akhirnya mereka menemukan salah satu tempat yaitu sebuah bangunan yang memiliki halaman yang dikelilingi tembok, mempunyai 4 ruangan, sebuah kanopi dan juga loteng dan keran air minum. Selanjutnya, Canfari menceritakan tentang bagaimana terpilihnya nama klub, segera setelah mereka menemukan markas baru. Akhirnya, tibalah pertemuan untuk menentukan nama klub di mana terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Di satu sisi, pembenci nama latin, di sisi lain penyuka nama klasik dan sisanya netral. Lalu, diputuskanlah tiga nama untuk dipilih; "Societa Via Port", "Societa sportive Massimo D’Azeglio", dan "Sport Club Juventus". Nama terakhir belakangan dipilih tanpa banyak keberatan dan akhirnya resmilah nama klub mereka menjadi "Sport Club Juventus", tetapi kemudian berubah nama menjadi Foot-Ball Club Juventus dua tahun kemudian. Klub ini lantas bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Dalam periode itu, tim ini menggunakan pakaian warna pink dan celana hitam. Juve memenangi gelar Seri-A perdananya pada 1905, ketika mereka bermain di Stadio Motovelodromo Umberto I. Di sana klub ini berubah warna pakaian menjadi hitam putih, terinspirasi dari klub Inggris Notts County.

Pada 1906, beberapa pemain Juve secara mendadak menginginkan agar Juve keluar dari Turin. Presiden Juve saat itu, Alfredo Dick kesal dan ia memutuskan hengkang untuk kemudian membentuk tim tandingan bernama FBC Torino yang kemudian menjadikan Juve vs. Torino sebagai Derby della Mole. Juventus sendiri ternyata tetap eksis walaupun ada perpecahan, bahkan bisa bertahan seusai Perang Dunia I.

Dominasi liga

Pemilik FIAT, Edoardo Agnelli mengambil alih kendali Juventus pada 1923, di mana kemudian ia membangun stadion baru. Hal ini memberikan semangat baru untuk Juventus, di mana pada musim 1925-26, mereka berhasil merebut scudetto dengan mengalahkan Alba Roma dengan agregat 12-1. Pada era 1930-an, klub ini menjadi klub super di Italia dengan memenangi gelar lima kali berturut-turut dari 1930 sampai 1935, dibawah asuhan pelatih Carlo Carcano, dan beberapa pemain bintang seperti Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Giovanni Ferrari dan Luis Monti.

Juventus kemudian pindah kandang ke Stadio Comunale, tetapi di akhir 1930-an dan di awal 1940-an mereka gagal merajai Italia. Bahkan mereka harus mengakui tim sekota mereka, A.C. Torino. Secercah prestasi kemudian muncul di musim 1937-38 saat Juve menjuarai Piala Italia pertama mereka setelah di final mengalahkan klub sekota mereka, Torino.

Setelah berada di posisi 6 pada musim 1940-41, Juve lantas merebut Piala Italia kedua mereka di musim berikutnya. Di periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini membuat jalannya Liga menjadi terhambat. Sepak bola Italia kemudian memutuskan untuk terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944, Juve ikut serta dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan. Pada 14 Oktober, Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino vs. Juventus. Torino yang saat itu mendapat sebutan "Grande Torino" kalah 2-1 dari Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 Juli 1945, Gianni Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi keluarga Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti dalam jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti Muccinelli dan striker asal Denmark John Hansen. Setelah Perang Dunia II usai Juve berhasil menambah dua gelar Seri-A pada 1949-50 dan 1951-52, dibawah kepelatihan orang Inggris, Jesse Carver.

Gianni Agnelli lantas meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuat muda Juve mulai mencoba bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuat yang belum matang, pada November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai komisioner klub. skuat menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat seperti Omar Sivori dan pemuda Wales bernama John Charles yang menemani para punggawa lama seperti Giampiero Boniperti. Musim 1957-58, Juve kembali berjaya di Seri-A, dan menjadi klub Italia pertama yang mendapatkan bintang kehormatan karena telah memenangi 10 gelar Liga Seri-A. Di musim yang sama, Omar Sivori terpilih menjadi pemain Juventus pertama yang memenangi gelar Pemain Terbaik Eropa. Juve juga berhasil memenangi Coppa Italia setelah mengalahkan ACF Fiorentina di final. Boniperti pensiun di 1961 sebagai top skorer terbaik Juventus sepanjang masa dengan 182 gol di semua kompetisi yang ia ikuti bersama Juventus.

Di era 1960-an, Juve hanya sekali memenangi Seri-A yaitu di musim 1966-67. Tetapi pada era 1970-an, Juve kembali menemukan jatidirinya sebagai klub terbaik Italia. Di bawah arahan Čestmír Vycpálek, Juve berusaha bangkit di musim 1971-72. Di paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di paruh kedua mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United. Di pekan ke-4 liga, Juve kemudian berhasil mengalahkan AC Milan 4-1 di San Siro ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat kemudian, Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama klasemen milik Juve menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan merebut scudetto ke-14 mereka. Selanjutnya di musim 1972-73 Juve kedatangan Dino Zoff dan Jose Altafini dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal di Seri-A dan kompetisi Eropa. Setelah berjuang sampai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC Milan, yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan merebut scudetto ke-15. Juve juga bahkan berhasil masuk final Piala Champions musim tersebut, namun di mereka kalah dari Ajax Amsterdam yang dimotori oleh Johan Crujff. Selanjutnya mereka berhasil menambah tiga gelar lagi bersama defender Gaetano Scirea di musim 1974-75, 1976-77 dan 1977-78. Dan dengan masuknya pelatih hebat bernama Giovanni Trapattoni, Juve berhasil memperpanjang dominasi mereka di era 1980-an.

Pentas Eropa

Era tangan dingin Trapattoni benar-benar membuat Seri-A porak poranda di 1980-an. Juve sangat perkasa di era tersebut, dengan gelar Seri-A empat kali di era tersebut. Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1982 dengan Paolo Rossi sebagai salah satu pemain Juve kemudian terpilih menjadi Pemain Terbaik Eropa pada 1982, sesaat setelah berlangsungnya Piala Dunia pada tahun tersebut. ditambah dengan kedatangan bintang Prancis Michel Platini, Juventus kembali difavoritkan di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga disibukkan dengan jadwal kejuaraan Eropa memulai kompetisi dengan lambat. Hal itu ditunjukkan dengan menelan kekalahan dari Sampdoria di pertandingan pembuka musim serta menang dengan tidak meyakinkan atas Fiorentina dan Torino. Sementara di Eropa, mereka berhasil menyingkirkan Hvidovre (Denmark) dan Standard Liege (Belgia) di penyisihan. Akan tetapi, Juventus kembali ke trek juara di musim dingin bersamaan keberhasilan mereka menembus perempat final Liga Champions. Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini dan Brio membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak. Namun, karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga Champions akhirnya tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara. Juventus seharusnya bisa menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka bertemu Hamburg di final Liga Champions tetapi hal itu tidak terjadi. Berada di posisi kedua di kompetisi domestik dan Eropa, Juventus akhirnya berhasil merebut gelar penghibur saat menjuarai Piala Italia dan Piala Interkontinental.

Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri kariernya di sana. Juve lantas merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi pendampong Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1 di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.

Setelah era keemasan Rossi usai, Michel Platini kemudian secara mengejutkan berhasil menjadi pemain terbaik Eropa tiga kali berturut-turut; 1983, 1984 dan 1985, di mana sampai saat ini belum ada pemain yang bisa menyamai dirinya. Juventus menjadi satu-satunya klub yang mampu mengantarkan pemainnya menjadi pemain terbaik Eropa sebanyak empat tahun berurutan. Platini juga menjadi bintang saat Juve berhasil menjadi juara Liga Champions Eropa pada 1985 dengan sumbangan satu gol semata wayangnya. Tragisnya, final melawan Liverpool FC dari Inggris tersebut yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia, harus dibayar mahal dengan kematian 39 tifoso Juventus akibat terlibat kerusuhan dengan para hooligans dari Liverpool. Sebagai hukuman, tim-tim Inggris dilarang mengikuti semua kejuaraan Eropa selama lima tahun. Juventus kemudian merebut scudetto terakhir mereka di era 1980-an pada musim 1985-86, yang juga menjadi tahun terakhir Trappatoni di Juventus. Memasuki akhir 1980-an, Juve gagal menunjukkan performa terbaiknya, mereka harus mengakui keunggulan Napoli dengan bintang Diego Maradona, dan kebangkitan dua tim kota Milan, AC Milan dan Inter Milan. Pada 1990, Juve pindah kandang ke Stadio delle Alpi, yang dibangun untuk persiapan Piala Dunia 1990.

Kesuksesan era Lippi

Marcello Lippi mengambil alih posisi manajer Juventus pada awal musim 1994-95. Ia lantas mengantarkan Juventus memenangi Seri-A untuk pertama kalinya sejak pertengahan 1980-an di musim 1994-95. Pemain bintang yang ia asuh saat itu adalah Ciro Ferrara, Roberto Baggio, Gianluca Vialli dan pemain muda berbakat bernama Alessandro Del Piero. Lippi memimpin Juventus untuk memenangi Liga Champions Eropa pada musim itu juga, dengan mengalahkan Ajax Amsterdam melalui adu penalti, setelah skor imbang 1-1 pada babak normal, di mana Fabrizio Ravanelli menyumbangkan satu gol untuk Juve.

Sesaat setelah bangkit kembali, para pemain Juventus yang biasa-biasa saja saat itu secara mengagumkan bisa mengembangkan diri mereka menjadi pemain-pemain bintang. Mereka adalah Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi dan Edgar Davids. Juve kembali memenangi Seri-A musim 1996-97 dan 1997-98, termasuk juga Piala Super UEFA 1996 dan Piala Interkontinental 1996. Juventus juga mencapai final Liga Champions di musim 1997 dan 1998, tetapi mereka kalah oleh Borussia Dortmund (Jerman) dan Real Madrid (Spanyol).

Setelah absen satu musim Lippi kembali, penandatanganan pemain nama besar seperti Gianluigi Buffon, David Trezeguet, Pavel Nedvěd dan Lilian Thuram, membantu tim untuk dua gelar scudetto lebih dalam 2001-02 dan 2002-03 musim. Juventus juga bagian dari akhir semua Italia Liga Champions pada tahun 2003 tetapi kalah dari Milan melalui adu penalti setelah pertandingan berakhir imbang 0-0. Tahun berikutnya, Lippi diangkat sebagai pelatih kepala Italia, membawa mengakhiri salah satu periode manajerial yang paling produktif dalam sejarah Juventus.

Skandal "Calciopoli"

Fabio Capello menjadi pelatih pada tahun 2004, dan memimpin Juventus untuk dua gelar Serie A. Namun, pada Mei 2006, Juventus menjadi salah satu dari lima klub Serie A terkait dengan skandal pengaturan pertandingan, hasil yang melihat klub terdegradasi ke Serie B untuk pertama kalinya dalam sejarah. Klub ini juga dilucuti dari dua gelar yang dibawa Capello pada tahun 2005 dan 2006.

Banyak pemain kunci meninggalkan klub menyusul penurunan pangkat ke Serie B, termasuk Thuram, striker Zlatan Ibrahimović dan bek tengah Fabio Cannavaro. Namun, pemain bernama besar lain seperti Buffon, Del Piero, Trezeguet, dan Nedved tetap untuk membantu klub kembali ke Seri-A sementara anak-anak dari Primavera seperti Sebastian Giovinco dan Claudio Marchisio diintegrasikan ke dalam tim utama. Bianconeri dipromosikan langsung kembali sebagai juara liga setelah musim 2006-07, sementara kapten Del Piero mendapat penghargaan pencetak gol terbanyak dengan 21 gol.

Kembali ke Serie A

Sejak mereka kembali ke Serie A di musim 2007-08, mantan manajer Chelsea Claudio Ranieri berhasil menangani Juventus selama dua musim. Mereka menempati posisi ketiga di musim pertama mereka kembali, dan lolos ke Liga Champions 2008-09 babak kualifikasi ketiga pada tahap awal. Juventus mencapai babak grup, di mana mereka mengalahkan Real Madrid di kedua leg kandang dan tandang, sebelum kalah di babak gugur dengan Chelsea. Ranieri dipecat menyusul serangkaian hasil buruk, dan Ciro Ferrara ditunjuk sebagai manajer secara sementara untuk dua pertandingan terakhir musim ini, sebelum kemudian diangkat sebagai manajer untuk musim 2009-10.

Namun, tugas Ferrara sebagai manajer Juventus terbukti tidak berhasil, dengan Juventus tersingkir dari Liga Champions dan Coppa Italia, dan hanya berbaring di tempat keenam di klasemen liga pada akhir Januari 2010, yang mengarah ke pemecatan Ciro Ferrara dan penamaan Alberto Zaccheroni sebagai manajer caretaker. Zaccheroni tidak bisa membantu meningkatkan sisi, sebagai Juventus mengakhiri musim di tempat ketujuh di Serie A. Untuk musim 2010-11, Jean-Claude Blanc digantikan oleh Andrea Agnelli sebagai presiden klub. Tindakan pertama Agnelli adalah untuk menggantikan Zaccheroni dan Direktur Olahraga Alessio Secco dengan manajer Sampdoria Luigi Del Neri dan Direktur Olahraga Giuseppe Marotta. Namun, Del Neri gagal memperbaiki nasib mereka dan dipecat. Mantan pemain dan favorit penggemar Antonio Conte, baru setelah memenangkan promosi dengan Siena, disebut sebagai pengganti Del Neri itu.

Dengan Conte sebagai manajer, Juventus tak terkalahkan untuk seluruh musim. Menjelang paruh kedua musim ini, tim itu sebagian besar bersaing dengan rival utara Milan untuk tempat pertama dalam pertandingan yang ketat. Juventus memenangkan gelar pada pertandingan ke-37, setelah mengalahkan Cagliari 2-0, dan Milan kalah dari Internazionale 4-2. Setelah kemenangan di pertandingan final melawan Atalanta 3-1, Juventus menjadi tim pertama untuk musim tak terkalahkan dalam arus Format 38 pertandingan. Prestasi penting lainnya termasuk yang terbesar kemenangan tandang (5-0 di Fiorentina), rekor terbaik defensif (20 gol kebobolan, paling sedikit pernah dalam format liga saat ini) di Serie A dan terbaik kedua di atas enam liga Eropa tahun itu.

Warna, logo, dan julukan

Juventus telah bermain memakai kostum berwarna hitam dan putih ala zebra sejak tahun 1903. Aslinya, Juve bermain memakai kostum berwarna pink, tetapi karena ada kesalahan pengiriman kostum dari Inggris, salah satu pemain Juve malah tampil dengan pakaian belang, yang merupakan kostum klub Inggris, Notts County. Akhirnya Juve memutuskan untuk beralih kostum menjadi belang hitam-putih.

Juventus lantas menanyakan pada pemain yang memakai baju belang tersebut, yaitu orang Inggris bernama John Savage, apakah ia bisa mengontak teman-temannya di Inggris yang bisa menyuplai kostum Juve dengan warna tersebut. Ia lantas menghubungi temannya yang tinggal di Nottingham, yang menjadi supporter Notts County, untuk mengirim kostum belang hitam-putih ke Turin, dan temannya tersebut menyanggupinya.

Logo resmi Juventus Football Club telah mengalami berbagai perubahan dan modifikasi sejak tahun 1920. Modifikasi terakhir adalah pada menjelang musim 2005-06 sebagai perayaan seratus tahun gelar Scudetto pertama yang diraih Juve. Di mana saat itu mereka mengubah logo menjadi oval, dengan lima garis vertical, dan banteng yang dibentuk dalam sebuah siluet. Dahulu sebelum musim 2005-06, Juve memiliki sebuah symbol berwarna biru (yang merupakan symbol lain dari kota Turin). Selain itu ditambahkan juga dua bintang yang menggambarkan mereka sebagai satu-satunya klub yang mampu memenagi gelar Seri-A 20 kali. Sementara di era 1980-an, logo Juve lebih banyak dihiasi dengan siluet seekor zebra, menggambarkan mereka sebagai tim zebra kuat di Seri-A.

Dalam perjalanan sejarahnya, Juve telah memiliki beberapa nama julukan, la Vecchia Signora (the Old Lady dalam bahasa Inggris atau "si Nyonya Tua" dalam bahasa Indonesia) merupakan salah satu contoh. Kata "old" (tua) merupakan bagian dari nama Juventus, yang berarti "youth" (muda) dalam Latin. Nama ini diambil dari usia para pemain Juventus yang muda-muda di era 1930-an. Nama "lady" (nyonya) merupakan bagian dari sebutan para tifoso ketika memanggil Juve sebelum era 1930-an. Klub ini juga mendapat julukan la Fidanzata d'Italia(the Girlfriend of Italy dalam bahasa Inggris atau "Kekasih Italia" dalam bahasa Indonesia), karena selama beberapa tahun, Juve selalu memasok pemain baru dari daerah selatan Itala seperti dari Naples atau Palermo, di mana selain bermain sebagai pemain sepak bola, mereka juga bekerja untuk FIAT sejak awal 1930-an. Nama lain Juve adalah: I Bianconeri (the black-and-whites, atau Si Belang) dan Le Zebre (the zebras, atau Si Zebra) yang mengacu pada warna Juventus. I gobbi (the hunchbacks) adalah julukan yang digunakan untuk mendefinisikan pendukung Juventus, tetapi juga digunakan kadang-kadang untuk pemain tim. Asal yang paling banyak diterima dari gobbi tanggal ke tahun lima puluhan, ketika tim Bianconeri mengenakan jersey besar. Ketika pemain berlari di lapangan, kostum, yang memiliki pembukaan di dada dengan tali, menghasilkan tonjolan di bagian belakang (semacam efek parasut), memberikan kesan bahwa para pemain memiliki bungkuk.

Stadion

Setelah dua musim perdana mereka (1897 dan 1898), di mana Juve bermain di Parco del Valentino dan Parco Cittadella, pertandingan-pertandingan selanjutnya di gelar di Piazza d'Armi Stadium sampai 1908, kecuali di 1905 saat nama Scudetto diperkenalkan untuk pertama kali, dan di 1906, di mana Juve bermain di Corso Re Umberto.

Dari 1909 sampai 1922, Juve bermain di Corso Sebastopoli Camp, dan selanjutnya mereka pindah ke Corso Marsiglia Camp di mana mereka bertahan sampai 1933, dan memenangi empat gelar liga. Di akhir 1933 mereka bermain di Stadion Mussolini yang disiapkan untuk Piala Dunia 1934. Setelah PDII, stadion tersebut berganti nama menjadi Stadion Comunale Vittorio Pozzo. Juventus memainkan pertandingan kandangnya di sana selama 57 tahun dengan total pertandingan sebanyak 890 kali. Sampai akhir Juli 2003 tempat tersebut masih dipakai sebagai sempat latihan Juve yang resmi.

Dari tahun 1990 sampai akhir musim 2005-06, Juve menggunakan Stadion Delle Alpi, sebagai kandang mereka yang aslinya dibangun untuk Piala Dunia 1990, sesekali Juve juga menggunakan stadion lain seperti Renzo Barbera di Palermo, Dino Manuzzi di Cesena dan San Siro di Milan.

Agustus 2006 Juve kembali bermain di Stadion Comunale, yang sekarang dikenal dengan nama Stadion Olimpiade, setelah Stadion Delle Alpi dipakai dan kemudian direnovasi untuk Olimpiade Musim Dingin Turin 2006.

Pada November 2008 Juventus mengumumkan bahwa mereka akan menginvestasikan dana sebesar €100 juta untuk membangun stadion baru di bekas lahan Stadion Delle Alpi. Berbeda dengan Delle Alpi, stadion baru Juve ini tidak menyertakan lintasan lari, dan jarak antara penonton dengan lapangan hanya 8,5 meter saja, mirip dengan mayoritas stadion di Inggris, di mana kapasitasnya diperkirakan akan berisi 41.000 kursi. Pekerjaan ini dimulai pada musim semi 2009, dan mulai awal musim 2011-12 stadion tersebut kemudian dipakai untuk mengarungi musim dan sejarah baru Juventus.

Pendukung

Juventus merupakan salah satu klub sepak bola dengan jumlah pendukung terbesar di Italia, dengan jumlah tifoso hampir 12 juta orang (32.5% dari total tifosi bola di Italia), merujuk pada penelitian yang dilakukan pada Agustus 2008 oleh harian La Repubblica, dan merupakan salah satu klub dengan jumlah supporter terbesar di dunia, dengan jumlah fans hampir 170 juta orang (43 juta orang di Eropa), selebihnya ada di Mediterrania, yang kebanyakkan diisi oleh imigran Italia. Tim Turin ini juga mempunyai fans club yang cukup besar di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia melalui Juventini Indonesia.

Tiket-tiket pertandingan kandang Juve memang tidak selalu habis setiap kali Juve bertanding di Seri-A atau Eropa, kebanyakkan fans Juve di Turin mendukung tim kesayangan mereka lewat bar-bar atau restoran. Di luar Italia, kekuatan supporter Juventus sangatlah kuat. Juve juga sangat popular di Italia Utara dan Pulau Sisilia, dan menjadi kekuatan besar saat Juve bertanding tandang, lebih dibandingkan para pendukung di Turin sendiri.

Untuk kawasan Indonesia sendiri sejak awal musim 2006-07 sudah berdiri sebuah komunitas khusus bagi para penggemar Juventus, dengan nama Juventus Club Indonesia (JCI). Komunitas ini kemudian diakui sebagai satu-satunya fans club resmi Juventus untuk Indonesia pada awal musim 2008-09 setelah hampir tiga tahun berjuang untuk mendapatkan lisensi dari pihak Juventus Italia.

Rivalitas

Juventus mempunyai beberapa rival utama di Italia. Pertama adalah klub sekota, FC Torino, di mana setiap pertandingan derbi melawan Torino selalu dijuluki Derby della Mole (Derby dari Torino) yang berawal sejak tahun 1906 di mana lucunya Torino sendiri didirikan oleh mantan-mantan pemain Juventus. Rival Juve yang lain di Italia adalah Internazionale; pertandingan Juve vs. Inter dijuluki sebagai Derby d'Italia(Derby dari Italia). Sampai akhir musim 2006 ketika Juve terlempar ke seri-B, Inter dan Juve merupakan dua tim yang tidak pernah terdegradasi ke seri-B. Dua klub ini juga menjadi klub dengan fans terbesar di Italia, sejak pertengahan 1990-an. Juve juga memiliki rival dengan AC Milan,AS Roma dan AC Fiorentina.

Sementara untuk kawasan Eropa sendiri, rival utama Juventus adalah Manchester United FC dari Inggris dan FC Bayern Munich dari Jerman, di mana keduanya sangat sering sekali bertemu di ajang Liga Champions Eropa. Satu lagi rival utama Juventus di Eropa adalah Liverpool FC. Khusus Liverpool, tifosi Juve tidak akan pernah melupakan tragedi kerusuhan Heysel 1985 (final Liga Champions 1985), di mana sekitar 30 orang lebih pendukung Juventus tewas di stadion yang berada di Belgia tersebut.

Himne Juventus

Setiap kali Juventus bertanding dihadapan para pendukungnya di Stadion delle Alpi atau Stadion Olimpiade Torino para pendukug Juve selalu menyanyikan sebuah lagu khas untuk mendukung timnya yang tidak diketahui siapa pencipta lagu tersebut. Berikut adalah petikan lagu himne Juventus:

Pembinaan pemain muda

Para pemain muda dari Juventus telah dikenal sebagai salah satu barisan pemain muda terbaik di Eropa, terutama di Italia. Walaupun tidak semua pemain muda Juve mampu masuk ke tim utama, beberapa di antara mereka sukses juga saat bergabung di klub lain. Dibawah asuhan pelatih Vincenzo Chiarenza, skuat Primavera (U-20) menikmati beragam prestadi, di antaranya adalah merajai kompetisi dari tahun 2004 sampai 2006.

Barisan pemain muda Juventus juga dikenal berkontribusi baik bagi tim nasional senior dan juga junior. Di antarapemain-pemain muda Juventus yang berbakat baik antara lain: Gianpiero Combi untuk Piala Dunia 1934, kemudian Pietro Rava untuk Olimpiade 1936 dan Piala Dunia 1938, lalu kemudian ada Giampiero Boniperti, Roberto Bettega, dan bintang Piala Dunia 1982 Paolo Rossi dan yang terkini adalah Domenico Criscito dan Claudio Marchisio yang menjadi sebagian kecil dari mantan pemain akademi Juventus yang sukses di level internasional.

Mirip dengan yang dilakukan klub Eredivisie Belanda, Ajax Amsterdam dan beberapa klub Liga Premier Inggris, Juventus juga mengoperasikan beberapa klub sepak bola satelit dan sekolah sepak bola di beberapa negara di dunia (misal: Amerika Serikat, Kanada, Yunani, Arab Saudi, Australia dan Swiss) dan juga beberapa kamp sepak bola di beberapa negara lainnya untuk mencari pemain-pemain muda berbakat.

Published on  August 26th, 2017